Selasa, 08 Oktober 2013

Sahabat yang Terluka


Beberapa kali punya teman, berkenalan dengan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan, tapi diantara ribuan manusia yang pernah kutemui, hanya dia yang terbaik. Masih ingat dengan jelas bulan Agustus 2005 lalu, pada mulanya aku tidak memiliki ketertarikan untuk menjadikannya sebagai teman. Aku justru menghindar darinya karena alasan-alasan yang belum pasti. Aneh memang, untuk apa menghindari seseorang yang belum tentu baik atau buruk untukmu. Tapi itulah kenyataannya. Mungkin jika awalnya aku tidak menghindarinya, persahabatan itu tidak akan terjadi. 

Sungguh hati dibutakan oleh mata. Sebelum bersahabat dengannya, aku berteman dengan seseorang yang menurutku baik. Sangat baik. Tapi... orang tersebut lantas malah berkhianat, melakukan sesuatu yang kubenci. Dan sekali lagi meyakini bahwa sahabat sejati itu hanya omong kosong. Lalu dia yang kuhindari datang menyapa, mengisi hari-hari yang terlewati di kampus reformasi. Mewarnai hari-hariku dengan canda tawanya, cerita-ceritanya yang tak pernah bosen kulahap. Darinya aku belajar bahagia. Darinya aku belajar toleransi. 

Terus terang aku bukan seseorang yang pandai mengendalikan emosi. Bukan juga seseorang yang pengertian dan membuka diri. Sementara waktu bergulir, aku dengannya semakin dekat. Kami laksana Yin dan Yang. Sempurna bila bersama. Timpang bilang terpisah. Kehadirannya disisiku menjadi sebuah kebutuhan yang sama pentingnya dengan bernafas. Aku merasa sempurna bersamanya. Berjalan bersisian dengannya membuat dadaku membusung bangga. Ya, aku bangga menjadi temannya. Salah satu perempuan yang cukup populer di kampus. 

Kami sama-sama berkacamata. Kami tidak terpisah, bahkan kami disebut-sebut saudara kembar. Padahal secara logika, aku merasa tidak memiliki kemiripan fisik dengannya. Dan rupanya bukan hanya kami yang merasakannya, teman-teman kami di kampus akan bertanya-tanya jika salah satu di antara kami tidak ada. Sulit dipercaya memang, terutama dengan akal sehatku. Bagaimana aku dapat bersahabat dengannya sampai sedekat itu. 

Dia seperti bagian diriku yang berbeda tubuh. Dia banyak melakukan hal-hal yang membuatku terharu atau aku memang pribadi yang sentimentil? Dia membuatku merasa istimewa. Membuatku merasakan kebahagiaan yang indah namun menakutkan. Dia pribadi yang sabar, sesuatu yang dulunya tidak kumiliki. Dia bisa dikatakan sangat memahamiku seperti dirinya sendiri. Segala sense of humor-nya cocok denganku. Itu sebabnya aku bahagia bersahabat dengannya. Tertawa dengan mimik mukanya yang dibuat lucu. Sampai suatu ketika momen-momen bahagia itu terkikis, berangsur lenyap oleh egoku.

Aku mulai berubah. Tidak menyukainya berbicara akrab dengan siapapun selain denganku. Hanya berdiri mematung merasakan sesak di dada. Ini mulai tidak sehat. Aku mulai tersiksa dan tidak bahagia. Aku mudah marah dengan hal-hal kecil yang tidak sengaja atau tidak bermaksud dia lakukan. Ya Tuhan, apa yang salah denganku? pikirku saat itu. Aku berubah. Aku mulai merasa bukan diriku lagi. Sesuatu yang jahat merasuki diriku, membuatku kehilangan diriku sendiri. Setelah merasakan sakit yang luar biasa menggerogoti setiap bagian diriku, kali bertemu dengannya, dan aku pun mengambil keputusan,

Aku harus menjauh darinya...

Tidak sempurna. Ya, itulah yang aku rasakan. Seperti seseorang yang berjalan dengan satu kaki. Timpang. Aku merasakan kekurangan yang besar dalam diriku. Tapi sekali lagi meyakini bahwa aku bisa terbebas darinya. Bukan karena dia salah atau mengecewakanku. Tapi aku menyadari bahwa aku bukan sahabat yang baik baginya. Sengaja, aku membuatnya kecewa dan sedih dengan harapan agar dia menjauh dariku. Setidaknya sampai aku kembali pada diriku yang dulu. 

Dia berkali-kali mengajakku untuk kembali bertemu setelah hampir satu tahun lamanya tidak. Dia membawa harapan, sementara aku masih dengan egoku. Namun, sekali lagi aku mengecewakannya. Sampai di hari pernikahannya aku tidak hadir. Dasar hatiku menolak datang dilengkapi dengan jatuh sakitnya aku pada hari pernikahannya. Tiga hari setelah pernikahannya, aku hanya mengirim sebuah pesan singkat yang terbaca hambar. Dan dia merasakan itu melalui pesan singkatku untuknya. Aku bisa mengatakan dia kecewa dari permintaan maaf dan ucapan pernikahan yang kukirimkan, hanya dengan membalas satu kata,

"Oke."

Entah bagaimana aku merasakan dadaku sesak dengan sendirinya. Penyesalan datang merayapi tubuhku tanpa diundang. Sejak hari itu, aku merasa bersalah padanya hingga detik ini. Aku mengutuk diriku sendiri berserta iblis di dalamnya. Aku egois! Aku bukanlah sahabat yang baik untuknya. Sebuah kalimat ingin kusampaikan padanya bahwa,

"Aku minta maaf, teman. Terima kasih sudah menjadi bagian diriku yang tidak sempurna. Aku tidak berkata kau tidak baik. Hanya saja kau pantas mendapatkan sahabat yang jauh lebh baik. Kau sahabat yang berarti dan tidak terlupakan yang pernah kumiliki. Maaf atas sikapku yang kekanak-kanakan dan mau menang sendiri. Dan dengan membaca tulisan ini, kau akan langsung tahu bahwa tulisan ini memang ditujukan untukmu. Selamat atas pernikahanmu dan semoga kau dianugerahi anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Sekali lagi...maaf."



Tidak ada komentar: